Rumah adat TANAH TORAJA

Diposting oleh djumriana | 03.01 | 0 komentar »

Tongkonan adalah rumah adat suku Toraja. Lucu ya namanya, tongkonan. Sekilas terdengar seperti tempat untuk duduk dan menonton sesuatu.

Tongkonan selalu menghadap ke utara. Foto: Dok. Kidnesia

Apa itu Tongkonan?
Berdasarkan asal katanya, “tongkon,” artinya memang menduduki atau tempat duduk. Tapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan menonton hehehe. Tongkonan dikatakan sebagai tempat duduk karena merupakan tempat berkumpulnya para kaum bangsawan Toraja. Mereka biasanya duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi mengenai masalah-masalah adat.

Bentuk tongkonan amat unik. Kedua ujung atapnya runcing ke atas mengingatkan kita pada rumah gadang dari Sumatera Barat. Ada yang mengatakan bentuknya seperti perahu dengan buritan tapi ada pula yang menyamakannya dengan tanduk kerbau.

Satu hal yang pasti, semua tongkonan Toraja mengarah ke utara. Arah tongkonan serta ujung atap yang runcing ke atas melambangkan bahwa mereka berasal dari leluhur yang datang dari utara. Ketika nanti mereka meninggal pun, mereka akan berkumpul bersama arwah leluhurnya di utara.

Selain bentuknya yang unik, tradisi tongkonan juga menarik lho. Menurut kisah setempat, tongkonan pertama dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun tongkonan. Selain itu, rumah adat tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Toraja.

Macam-macam Tongkonan
Tongkonan juga diberi nama berdasarkan letak atau posisi tongkonan itu sendiri seperti contohnya Tongkonan Belo Langi yang berarti tongkonan tempat tertinggi. Nama tongkonan juga berdasarkan nama daerah seperti Tongkonan Garampa.

Pola hias, posisi atau letak tangga dan pintu, serta banyaknya ruangan juga memiliki arti secara sosial, ekonomi, dan religius magis. Contohnya saja, semakin banyak ruangan dalam tongkonan artinya semakin tinggi kedudukan tongkonan tersebut.

Atapnya seperti bentuk perahu. Foto: Dok. Kidnesia

Tongkonan dibagi ke dalam tiga macam berdasarkan kelas sosial, yaitu:

1. Tongkonan Layuk.
Tongkonan ini dibangun untuk orang berkuasa dan sebagai pusat pemerintahan. Ciri-ciri tongkonan ini adalah ukiran seperti hewan dan tumbuhan di dinding rumah. Selain itu ada pula hiasan kepala kerbau dan deretan tanduk kerbau. Kepala dan tanduk kerbau adalah penanda kemakmuran serta hidup berkelimpahan.

2. Tongkonan Pekamberan.
Ini tongkonan bagi keluarga yang dipandang hebat dalam adat. Ciri tongkonan ini sama dengan tongkonan layuk.

3. Tongkonan Batu.
Jenis ketiga ini adalah rumah bagi keluarga biasa. Tongkonan ini disebut banua oleh masyarakat setempat. Selain minim ukiran, banua juga tidak punya hiasan sehingga lebih mirip pondok bambu.

Membangun Tongkonan
Untuk mendirikan tongkonan, diperlukan waktu tiga bulan dengan sepuluh pekerja. Untuk mengecat dan dekorasi perlu tambahan satu bulan lagi. Waktunya lama karena seperti penjelasan Nesi di atas, setiap bagian tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja. Jadi tidak bisa sembarangan.

Bayangkan saja, konstruksi rumah adat Tongkonan terbuat dari kayu tanpa menggunakan unsur logam seperti paku sama sekali. Belum lagi ornamen rumah berupa tanduk kerbau serta empat warna dasar: hitam, merah, kuning, dan putih. Empat warna tersebut mewakili kepercayaan asli Toraja yaitu Aluk To Dolo.

Perhatikan ornamen tanduk & kepala kerbau, serta warna hitam merahnya. Foto: Dok. Kidnesia

Tiap warna harus digunakan dengan tepat karena melambangkan hal-hal yang berbeda. Hitam melambangkan kematian dan kegelapan, kuning adalah simbol anugerah dan kekuasaan ilahi. Warna merah adalah warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Sedangkan putih adalah warna daging dan tulang yang artinya suci.

Ornamen tanduk kerbau yang ada di depan tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi satu keluarga. Setiap upacara adat di Toraja, terutama upacara pemakaman, menggunakan kerbau yang sangat banyak. Tanduk kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga mereka. Semakin banyak tanduk yang terpasang di tongkonan, semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik tongkonan tersebut.

Tongkonan itu sendiri bisa berfungsi sebagai pusat pemerintahan, kekuasaan adat, perkembangan kehidupan sosial, juga tempat meletakkan jenazah. Nah kalau soal tradisi Toraja dan jenazah, itu lain cerita lagi. Kalau kamu mau tahu, nanti Nesi ceritakan ya. Anggap saja kisah tradisi Toraja ini bersambung hehehe.

SEJARAH KOTA MAKASSAR

Diposting oleh djumriana | 02.55 | 0 komentar »

Sejarah Kota

Awal Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.

Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan. Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting Saudagar Melayu dalam perdagangannya yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan¬kerajaan kecil disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil tainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian lawan-tawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru itu.
Dalam hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat itu, berkat hubungannya dengan perubahan¬-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar.

Sampai pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan¬-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.

Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG

MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9

Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo tetah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.

Para ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut dalam jaringan perdagangan internasional, dan interaksi dengan komunitas kota yang kosmopolitan itu me¬nyebabkan sebuah "creative renaissance" yang menjadikan Bandar Makassar salah satu pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Koleksi buku dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih langkah di Eropa, yang terkumpul di Makassar, konon merupakan salah satu perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan para sultan tak segan-segan memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh pelosok bumi, termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada waktunya, yang dipesan secara khusus

dari Eropa. Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memper-luas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.

Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.

Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673

ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan 'kota baru' yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan 'Vlaardingen'. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang, seluruh kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada pertengahan abad ke-18 jumlah itu meningkat menjadi sekitar 5.000 orang, setengah di antaranya sebagai budak.

Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang tertupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke-19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer yang ditancurkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, 'Kota Kompeni' itu hanya berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah tanpa hinterland - bentuknya pun bukan 'bentuk kota', tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.

Pada awalnya, kegiatan perdagangan utama di beras Bandar Dunia ini adalah pemasaran budak serta menyuplai beras kepada kapal¬kapal VOC yang menukarkannya dengan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an di abad ke-18, pelabuhan Makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa hasil laut dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC.

Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk men¬carinya; bahkan, sejak pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.

Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional.

Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar, jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa

pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki "kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang penulis Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.

Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indo¬nesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha

Diposting oleh djumriana | 02.50 | 0 komentar »

Selamat Datang di Makassar


Makassar adalah Ibu Kota Sulawesi Selatan. Kota ini memiliki banyak tempat menarik, pulau-pulau eksotis, pantai yang indah, kesenian yang atraktif, hiburan, dan kuliner khas. Makassar juga merupakan pintu gerbang wisata lainnya di Sulawesi, seperti Tana Toraja, Bunaken, dan Wakatobi.

Makassar dapat dijangkau melalui udara atau laut. Banyak penerbangan langsung ke Makassar, satu jam dari Bali dan Surabaya, dua jam dari Jakarta. dan tiga jam dari Kuala Lumpur.

Gedung Kesenian Sulawesi Selatan

MAU lihat berbagai pertunjukan teater, pameran lukisan, seni instalasi, konser musik, dan sebagaianya? Nuansa berkesenian terasa unik karena bangunan gedung ini merupakan gedung kuno yang tetap dipertahankan keaslian bentuknya.

Lokasi
Gedung Kesenian Sulawesi Selatan terletak di Jl Riburane No 15. Jaraknya dari hanya sekitar 600 meter sebelah barat pusat Kota Makassar (Lapangan Karebosi).

Sejarah
Societeit de Harmonie berarti gedung perkumpulan harmoni. Dulu kala, gedung ini tidak hanya digunakan untuk acara kesenian, tetapi juga sebagai tempat pertemuan gubernur, walikota, dan Petinggi Militer Belanda.

Bangunan ini berciri Eropa abad XIX, bergaya Renaisance atau Yunani baru. Societeit de Harmonie Makassar dibangun pada tahun 1896. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), gedung ini dijadikan sebagai balai kota masyarakat. Selain digunakan sebagai tempat rapatrapat untuk kepentingan Jepang, gedung ini juga digunakan untuk pertunjukan seni.

Pada masa setelah kemerdekaan, gedung ini silih berganti fungsi, antara fungsi sebagai kantor dan sebagai gedung pertunjukkan. Tahun 1998, para praktisi kesenian berhasil mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memfungsikan gedung ini penuh sebagai gedung kesenian sekaligus merenovasi dan menambah peralatan pertunjukan.

Sejak tahun 2001, pemuda dan para praktisi kesenian Sulawesi Selatan menamakan gedung peninggalan sejarah ini dengan nama Gedung Kesenian Sulawesi Selatan Societeit de Harmoni.

BALLA LOMPOA

Diposting oleh djumriana | 02.44 | 0 komentar »

Bangunan lain rumah lebih kecil 2 buah berderet. Bangunan dari kayu dan terkesan kuno. Di depannya ada lapangan rumput kecil dan taman. Bangunan ini memang peninggalan Kerajaan Gowa dan sekarang dihuni oleh beberapa keturunannya. Memang saya lihat ada penghuninya Hampir semua siswa hafal, periode perang Diponegoro di Jawa Tengah, tahun 1825-1830. Tahun itu terkadang juga untuk bahan plesetan guyonan pelawak Tarsan Srimulat dengan guyonan saat adzan magrib. Juga tokoh-tokoh di sekitarnya seperti Sentot Prawirodirjo, sampai Jenderal De Kock yang menipu Diponegoro saat perundingan di Magelang. Kisahnya menjadi akrab anak-anak karena pernah menjadi serial gambar mainan anak-anak. Namanya juga menjadi nama jalan di hampir semua kota besar di Indonesia. Lebih dari 1,24 abad yang lalu perang mengusir Belanda tersebut terjadi. Tak banyak yang tahu masa akhir Diponegoro itu di Makasar. Bahkan kuburannya tak banyak yang tahu lokasinya dan sangat sederhana di areal kuburan masyarakat biasa di pinggir Jl. Diponegoro, Makassar. Dalam suatu kesempatan, tugas perusahaan sekitar tahun 2005, penulis berkesempatan melihat jejak masa akhir P Diponegoro. Di mata penulis sosok ini begitu terpatri di benak karena begitu terkenalnya, sosok santri dengan surban putih di kepala. Atau sedang menunggang kuda dan menggenggam keris. Menuju Makassar Starting point saya dari Balikpapan dan menuju Makassar dengan pesawat komersial. Menjelang mendarat terlihat dari atas tanah-tanah telanjang berwarna merah di sekitar Airport Hasanuddin Makassar. Sepertinya banyak tanah tandus dan tidak terlihat hijau. Keluar bandara terlihat rumah-rumah adat Bugis dari kayu dengan model rumah panggung. Atapnya kebanyakan dari seng. Udara panas. Kami menginap di hotel sekitar Pantai Losari. Dari kamar hotel terlihat laut luas dan ada pulau tak jauh dari situ. Kapal-kapal tradisional terlihat berlayar. Jalan di sekitar Pantai Losari merupakan jalan sibuk. Di sekitar situ banyak hotel dan restoran. Kami makan malam ikan bakar di sebuah restoran sekitar hotel. Restoran ikan bakar banyak sekali tinggal memilih. Saya pikir pemiliknya orang asli Makassar karena menunya ikan bakar, tetapi ternyata tetap saja orang China pemiliknya. Meskipun begitu rasanya tetap enak. Kita memilih sendiri ikannya dan langsung dibakar. Menu khas, ikan bakar dan minum es markisa. Ada juga camilan yang enak, otak-otak dari ikan. Pantai Losari dan Tanjung Bunga Tak perlu banyak cerita kota dan mall, sepertinya hampir sama di setiap kota. Tempat wisata yang dominan mungkin di Pantai Losari di sekitar Jl. Penghibur, Jl Ujung Pandang. Sepanjang jalan itu juga banyak sekali hotel-hotel yang menjual view laut. Banyak juga restoran bertebaran di sepanjang jalan tersebut. Jangan dibayangkan pantainya masih sepi dengan pasir dan pohon kelapa. Sudah seperti kota besar, pantai Losari pinggirnya sudah dibangun semacam arena jalan memanjang menyusuri pantai. Pagi-pagi, saya jalan-jalan sambil mencari keringat menyusuri pantai ini. Angin bertiup sepoi-sepoi dengan aroma angin pantai. Beberapa perahu tampak berlayar dan ada yang menambatkan sauhnya. Air laut tampak jernih sehingga di pinggir yang tak begitu dalam terlihat dasarnya. Ombaknya tipis saja. Ada yang memancing ikan. Nampak beberapa ikan baronang atau ikan putih sebesar telapak tangan orang dewasa berseliweran di air. Satu dua orang tampak memancing udang. Caranya unik, dengan batang kecil dan diberi tali pengait. Bila ada udang di dasar pinggir pantai tinggal dijebak dengan pengait tersebut dan tertangkaplah udangnya. Dapat lumayan banyak. Satu orang dalam beberapa menit sudah dapat belasan. Kalau sore banyak orang bersantai dan menghirup udara segar di pantai ini. Angin sore bertiup lebih kencang. Penjual makanan tentunya bertebaran di sini. Satu dua orang pengendara motor melepas lelah. Setelah saya tanya salah satunya, ternyata orang Gowa yang bekerja di Makassar yang melepas lelah karena tiap hari harus bekerja pulang balik Makassar-Gowa. Jarak ke Gowa sekitar 30 km. Bila malam Pantai Losari masih juga ada satu dua orang menikmati sinar bulan. Juga beberapa pemancing ikan. Tetapi ada tempat yang enak untuk nongkrong, tak jauh dari situ yaitu sepanjang jalan Metro Tanjung Bunga ke arah GTC (Global Trade Centre), di pinggir laut banyak pedagang makanan kelas kaki lima. Di situ sudah diberi tempat untuk berjualan. Tinggal memilih menu makanan sesuai dengan keinginan. Ada menu khas Makassar, pisang empe dan jagung bakar cukup mengenyangkan. Pisang empe, adalah pisang yang dibakar dan diberi gula. Rasanya manis sekali. Terlalu manis untuk sebuah makanan. Para pengamen juga banyak menawarkan jasanya. Tempat ini ramai sekali sampai malam. Ke Benteng Rotterdam dan melihat Makam Pagi-pagi kami jalan kaki dari hotel ke Benteng Rotterdam di depan Pelabuhan Makassar di Jl. Nusantara. Masih satu jalan dengan hotel dan hanya berjarak sekitar 500 m tetapi berganti nama jalan. Pelabuhan laut sudah mulai sibuk. Beberapa kapal tampak berlabuh. Tetapi benteng terlihat sepi. Mungkin hanya kami saja yang masuk. Untuk apa pagi-pagi sudah ke benteng, seperti tak ada pekerjaan saja. Apa juga yang menarik dari benteng ini? Hanya bangunan berbentuk dinding batu tebal berwarna hitam dibuat mengelilingi. Luasnya sekitar tak lebih dari 400 m masing-masing sisinya. Seperti halnya benteng lain, benteng Vredeburg di Yogya misalnya. Ada tempat-tempat meriam dan untuk pasukan di atas dinding. Di tiap pojoknya bangunannya lebih luas. Bisa dibayangkan, dulu tempat itu untuk pertahanan perang dengan dentuman tembakan satu dua peluru. Pasukan mencoba mempertahankan diri dengan berlindung di balik dinding dengan membawa senapan kuno. Untuk informasi, benteng ini dipakai oleh Belanda untuk mempertahankan monopoli perdagangan dari serangan Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa sekitar tahun 1653-an. Ada yang menarik di situ. Ada salah satu ruangan pernah dipakai sebagai tahanan P Diponegoro sewaktu diasingkan ke Makasar oleh Jenderal De Kock. Letaknya di dinding depan, di pojok bagian dalam di lantai II. Di situ tertulis tempat P Diponegoro dipenjara. Ruangannya sepertinya gelap dan tersembunyi. Pintunya kuat dan besar. Ada terali besi. Berapa lama Sang Pangeran di penjara? Sedihkah dia? Kecewakah dia? Mungkin segala perasaannya bercampur jadi satu dan menegaskan keyakinan bahwa penjajah Belanda harus dilenyapkan. Menurut sejarah, nama aslinya Raden Mas Ontowiryo, lahir di Yogyakarta pada 11 Nopember 1785 dan putra Sultan Hamengkubuwono III, salah seorang raja di Keraton Yogyakarta. Beliau berperang mengusir Belanda sekitar tahun 1825-1830. Pada akhirnya, Diponegoro diajak berunding dengan De Kock tanggal 28 Maret 1830. Beliau kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado, lalu dipindah ke Makassar sampai meninggal tanggal 8 Januari 1855. Di depan benteng ada pelabuhan untuk wisata ke P Selayar di Laut Flores, tempat Taman Nasional Taka Bonerate. Terdiri atas 21 pulau kecil yang membentuk suatu atol yang terbentang seluas 220.000 ha, yang merupakan atol terbesar di Asia Tenggara. Taka Bonerate dalam bahasa Bugis artinya kurang lebih karang yang tertimbun pada dasar pasir. Perjalanan laut bisa dicapai dengan perahu kayu dan memerlukan waktu sekitar 3-4 jam. Itupun hanya waktu tertentu, pada waktu angin muson yaitu bulan September-Nopember dan April-Juni. Saya berkeliling mencoba pete-pete. Apa itu? Sama dengan di tempat lain, nama lain dari angkot. Ada masjid lumayan besar Al-Markaz Al-Islami di Jl. Masjid Raya. Hanya di suatu jalan terlihat agak unik, berderet pertokoan yang jualan perlengkapan kematian. Dari kain kafan, peti mati, bunga, nisan dll. Saya ke makam Diponegoro di Jl. Diponegoro. Tak banyak orang tahu lokasinya. Saya perlu bertanya ke beberapa orang untuk mengetahui tempatnya. Sebuah komplek makam sederhana di pinggir jalan. Nampaknya makam keluarga dan bercampur dengan makam-makam lainnya. Tak ada sedikitpun tanda bahwa itu makam seorang pahlawan terkenal. Orang yang berjalan melewatinyapun tak mempedulikannya. Melihat Sisa Kerajaan Gowa Sebenarnya ada tempat wisata di luar kota tetapi masih dekat yaitu air terjun Baltimurung. Tetapi saya tak punya kesempatan dan tertarik melihat sisa Kerajaan Gowa yang tak begitu jauh jaraknya. Perlu bertanya ke beberapa orang untuk mengetahui lokasi sisa kerajaan Gowa karena situs ini bukan tempat wisata yang populer. Saya naik taksi menuju lokasi ke arah Selatan melewati Jl. Sultan Al-Auddin dan IAIN. Sekitar 30 menit sampailah di lokasinya. Sopir perlu berputar-putar dan bertanya ke beberapa orang untuk memastikan tempatnya. Di tengah rumah-rumah padat ada areal separo lapangan bola. Ada dinding pemisah tetapi tempat tersebut tak jelas sebagai bekas kerajaan. Kondisi kurang terawat. Saya masuk dan tak ada tanda-tanda istimewanya. Pantas saja beberapa orang tak mengetahuinya. Ada bangunan besar 2 lantai dari kayu. Lantai 1 terbuka dan kosong. Setelah saya melongok ke dalamnya di lantai 2, ada persiapan untuk acara pernikahan. Memang sebuah gedung besar dari kayu tua. Nampaknya sekarang memang difungsikan sebagai gedung sarana pertemuan. Apa ini peninggalan kerajaan Gowa? Bangunan lain rumah lebih kecil 2 buah berderet. Bangunan dari kayu dan terkesan kuno. Di depannya ada lapangan rumput kecil dan taman. Bangunan ini memang peninggalan Kerajaan Gowa dan sekarang dihuni oleh beberapa keturunannya. Memang saya lihat ada penghuninya. Kehidupannya sepertinya sangat sederhana. Bangunan tersebut sudah difungsikan sebagai Museum Ballompua. Di situ tersimpan senjata, pakaian kerajaan dan mahkota berlapis emas seberat 15,4 kg. Sayang sewaktu saya ke sana sudah tutup dan tak bisa masuk. Bangunan tersebut dulu sebagai kerajaan Gowa yang pernah mencapai kejayaan dengan melakukan perdagangan rempah-rempah sewaktu dipimpin oleh Sultan Hasanuddin (1653-1669). Sultan Hasanuddin berjuang mengusir Belanda yang melakukan monopoli dalam bidang perdagangan dan menguasai perairan Nusantara. Sultan Hasanuddin, melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang berasal dari Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka. Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada dibawah Kabupaten Gowa dan daerah sekitarnya yang dalam bingkai negara kesatuan RI dimekarkan menjadi Kotamadya Makassar dan kabupaten lainnya.